Mutaghayyirat adalah hal-hal yang mungkin
mengalami penggantian, perubahan, takwil, dan pengembangan. Dan perubahan di
dalamnya bukanlah merupakan pelanggaran terhadap hal-hal pokok (ushul) dan
asasi. Ia merupakan hal yang fleksibel. Sebab perubahan waktu dan tempat menuntut
adanya fleksibilitas, adaptasi, dan respon
sembari tetap menjaga tsawabit
Ada sebagian kaum
muslimin yang menganggap bahwa segala yang telah ada (baca: dilakukan)
generasi awal Islam adalah sesuatu yang final dan harus diikuti, hatta
dalam model pakaian dan hal lain yang sebenarnya masuk dalam domain
“umuriddunya”. Sebagian yang lain, merupakan lawan ekstrim dari golongan
pertama, bahwa apapun yang ada dalam Islam bisa diubah seiring dengan
perkembangan zaman. Tidak peduli apakah ia masalah muamalah maupun
ibadah dan aqidah, semuanya bisa diubah mengikuti “semangat zaman”.
Pandangan
seperti di atas bisa saja terjadi ketika seorang muslim tidak
mengetahui tsawabit dan mutaghayyirat dalam Islam. Mana hal-hal prinsip
yang bersifat permanen, tidak boleh berubah. Dan mana hal-hal yang
bersifat fleksibel, yang perlu dikembangkan dan dilakukan inovasi.
Dalam
hal dakwah dan harakah juga demikian. Termasuk ketika umat berbicara
tentang gerakan dakwah Islam terbesar; Ikhwanul Muslimun. Saat harakah
ini di berbagai belahan dunia melakukan transformasi dalam ‘bentuk lain’
yang ‘berbeda’ dari tampilannya pada zaman Hasan Al-Banna, banyak
komentar yang menganggap bahwa Ikhwan tidak lagi berada dalam
asholahnya. Terlebih ketika harakah ini di beberapa negara sering kali
melakukan ‘manuver dakwah’ maka suara-suara itu lebih terdengar. Tidak
hanya dari orang umum dan simpatisannya, bahkan sebagian kadernya juga
ikut terbawa dalam pandangan ini.
Sementara
itu, tantangan dan problematika yang dihadapi harakah Islam sekarang
berbeda dengan apa yang pernah dihadapinya dulu. Peluang yang terbuka
juga tidak sama persis dengan apa yang sudah terjadi sebelumnya. Zaman
dan tipologi manusia yang ada sekarang juga berbeda. Dengan argumentasi
ini, ada juga kemudian yang mengusulkan bahwa ‘manuver dakwah’ harus
lebih kencang dan bahkan menyangkut hal-hal yang sebenarnya prinsip juga
menjadi berubah.
Maka, kehadiran buku
Ats-Tsawabit Wal-Mutaghayyirat karya Jum’ah Amin ini menjadi cahaya
terang yang bisa dijadikan referensi tentang Ikhwan, tidak hanya bagi
kadernya tetapi juga bagi simpatisan dan umat Islam secara umum.
Ada 10 Tsawabit Da`wah, yaitu :
Pertama, nama jama`ah dan gagasan tentang sejarah dan loyalitas.
Kedua: kerja sama tim dan kemampuan kita.
Ketiga, pendidikan dan non-kekerasan adalah cara kami.
Keempat, Pendidikan keluarga dalam inkubator kami.
Kelima: Sepuluh ajaran khusus pesan dan dua puluh pilar aset, dan pesan berdasarkan keyakinan kami dan kami telah belajar sumber.
Keenam: inklusivitas dan seluruh dasar pandangan kita tentang pemahaman yang komprehensif dan secara keseluruhan.
Ketujuh: Syura mengikat tekad sengketa antara kami.
Kedelapan: menghormati aturan dan peraturan dari etika Biatna.
Kesembilan: pilihan yurisprudensi dari grup tersebut bukan individu yang terbaik dalam mereka.
Kesepuluh: Tujuan Allah dalam semua konstanta dan Mngaratna, dan semua yang kita katakan dan lakukan.
Setelah menjelaskan tentang definisi
tsawabit dan mutaghayyirat, penulis menjelaskan pula 10 tsawabit dalam
dakwah Ikhwanul Muslimun, yaitu:
1. Nama Jamaah tidak boleh berubah sebab ia merupakan cerminan fikrah, aplikasi, sejarah dan loyalitas.
Artinya,
ketika disebutkan nama Ikhwanul Muslimun, maka akan segera tergambar
sebuah jamaah dakwah dengan berbagai karakternya yang khas. Namun,
ke-tsawabit-an nama ini hanya diperuntukkan bagi tanzhim alamy
(organisasi pusat). Adapun cabang-cabangnya di berbagai negara
diperbolehkan menggunakan nama yang berbeda sesuai dengan kondisi sosial
politik dan peluang serta kapasitas internal jamaah.
2.
Beramal jama’i adalah kewajiban yang harus selalu menyatu dengan
aktivis dakwahnya. Maka kader Ikhwan akan senantiasa bersama dengan
jamaah baik keputusan jamaah sesuai dengan pendapatnya atau berbeda. Dan
tentu saja karena jamaah ini adalah jamaah Islam maka segala
keputusannya harus sesuai dengan konsep Islam dan amal jama’inya pun
dalam rangka penegakan Islam.
3. Jalan yang dilalui dalam upaya meraih cita-cita dan tujuannya adalah dengan
tarbiyah.
Meskipun pada saat yang sama juga ada dakwah struktural, perubahan
sosial melalui gerakan massa, dan sebagainya, tarbiyah (pengkaderan)
tetap menjadi langkah utama. Hal ini membawa implikasi meskipun suatu
saat jamaah ini sudah memasuki ranah politik atau bahkan ranah negara,
memiliki massa yang demikian banyak jumlahnya, ia tetap harus melakukan
proses tarbiyah. Dengan tarbiyah itu ia menjaga dan mengembangkan kader
yang sudah ada, dengan tarbiyah pula ia menambah jumlah kader itu.
4.
Usrah adalah tempat asuhan tarbiyah. Meskipun wasailut tarbiyah
(sarana-sarana tarbiyah) itu banyak, tetapi usrah tetap menjadi jiwa
dari semua sarana yang ada. Meskipun sarana tarbiyah bisa berkembang
seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi (misalnya dengan
telekonferens dan taujih leave), usrah tidak boleh ditinggalkan. Ia
menjadi benteng terakhir bagi tarbiyah, otak bagi amal jama’i, dan
senjata utama dalam merealisasikan cita-cita.
5.
Prinsip-prinsip jamaah, baik mengenai pemahaman aqidah, pemikiran, atau
ideologinya bisa dirujuk dalam risalah ta’alim (khususnya ushul isyrin)
dan risalah aqaid. Maka, bagi kadernya sangat diperlukan mempelajari
risalah tersebut, sebab ia merupakan batasan dan arahan dalam memahami
Islam. Jika batasan atau kaidah dalam risalah ini telah benar-benar
dikuasai maka baru boleh baginya membaca referensi apapun dan tidak
dikhawatirkan akan terkena syubhat dan ghazwul fikr dari pihak yang
memusuhi Islam.
6. Bahwa Islam itu
bersifat syumul (komprehensif) dan karenanya jamaah dakwah Islam juga
harus bersifat komprehensif. Dari sini bisa diketahui kelemahan harakah
Islam yang hanya mengkonsentrasikan diri pada salah satu aspek dalam
Islam; aqidah saja atau politik saja, misalnya.
7. Syura adalah pengikat bagi setiap ikhwah dalam memecahkan permasalahan dan menyelesaikan perbedaan.
8. Menghormati sistem dan peraturan jamaah adalah moralitas yang selayaknya dijunjung tinggi setiap ikhwah
9. Pilihan fiqih yang telah ditetapkan oleh jamaah harus diikuti oleh anggota
10. Allah menjadi tujuan dalam setiap ucapan dan perbuatan.
0 komentar: